PENGERTIAN RIBA
Riba
secara harfiah berarti “kelebihan”, ziyadah (tambahan). Dalam
pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar
Menurut
Abu Bakar ibnu al Arabi,
dalam bukunya ‘Ahkamul Qur’an’ memberi definisi Riba adalah: ‘Setiap
kelebihan antara nilai barang yang diberikan dengan nilai-tandingnya (nilai
barang yang diterimakan).’
Didalam
kamus Bhs. Indonesia :
Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinzaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada
peminjam. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Macam-macam Riba :
1.
Riba Nasi’ah ialah
pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan.
2.
Riba Fadhl ialah
penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak
jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran
emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya.
Hukum Riba
menurut Alquran (Haram)
Al-Qur’an menjelaskan
tentang riba, pada surat Al-baqarah:275
Orang-orang yang makan
(mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila[175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.(Al-Baqarah:275)
Ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum riba :
مْحَقُ اللهُ الرِّبَا وَيُرْبِي
الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍيَ
Allah memusnahkan riba
dan menyuburkan sedekah[177]. Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa[178].(Al-Baqarah:276)
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا
اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah:278)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ
تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda[228]] dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Ali
‘Imran:130)
[228]. Yang dimaksud
riba di sini ialah riba nasi’ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba
nasi’ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Lihat selanjutnya
no. [174].
Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (Ar-Rum:39)
HADITS TENTANG RIBA
Yahya
meriwayatkan kepadaku dari Malik dari Nafi’bahwa beliau mendengar ‘Abdullah ibn
‘Umar berkata,“Jika seseorang meminjamkan sesuatu, biarkan kondisi satu-satunya
yang dilunasi.” Al-Muwatta Imam Malik : 31.44.94
Malik
meriwayatkan kepadaku bahwa beliau mendengar ‘Abdullah ibn Mas’ud pernah
berkata, “Jika seseorang membuat pinjaman, mereka tak boleh menetapkan perjanjian
lebih dari itu. Meski hanya segenggam rumput, itu adalah riba.” Al-Muwatta Imam
Malik : 31.44.95
Abdullah
ibn Mas’ud meriwayatkan bahwa Rasulullah salallaahu alayhi wasallam melaknat
mereka yang menerima, yang membayar, yang menyaksikan, dan yang mencatat riba.
Kelebihan
ini mengacu pada dua hal:
1.Tambahan keuntungan yang berasal dari peningkatan yang tidak dapat dibenarkan dalam bobot maupun ukuran, dan
2. Tambahan keuntungan yang berasal dari penundaan (waktu) yang tidak dibenarkan.
1.Tambahan keuntungan yang berasal dari peningkatan yang tidak dapat dibenarkan dalam bobot maupun ukuran, dan
2. Tambahan keuntungan yang berasal dari penundaan (waktu) yang tidak dibenarkan.
Pengertian
riba menurut Islam secara lebih rinci diuraikan Ibn Rushd (al-hafid) seorang
fakih, memaparkan beberapa sumber riba ke dalam delapan jenis transaksi:
1.
Transaksi yang dicirikan dengan suatu pernyataan ’Beri saya kelonggaran (dalam
pelunasan) dan saya akan tambahkan (jumlah pengembaliannya)
2. Penjualan dengan penambahan yang terlarang;
3. Penjualan dengan penundaan pembayaran yang terlarang;
4. Penjualan yang dicampuraduk dengan utang;
5. Penjualan emas dan barang dagangan untuk emas;
6. Pengurangan jumlah sebagai imbalan atas penyelesaian yang cepat;
7. penjualan produk pangan yang belum sepenuhnya diterima;
8. atau penjualan yang dicampuraduk dengan pertukaran uang.
2. Penjualan dengan penambahan yang terlarang;
3. Penjualan dengan penundaan pembayaran yang terlarang;
4. Penjualan yang dicampuraduk dengan utang;
5. Penjualan emas dan barang dagangan untuk emas;
6. Pengurangan jumlah sebagai imbalan atas penyelesaian yang cepat;
7. penjualan produk pangan yang belum sepenuhnya diterima;
8. atau penjualan yang dicampuraduk dengan pertukaran uang.
Perlu
diketahui bahwa Ibn Rushd menuliskan Bidayat al-Mujtahid dengan menganalisis
berbagai pendapat para imam dari keempat madhhab utama. Dua aspek ini
telah mendorong para ulama mendefinisikan dua jenis riba. Ibnu Rusyd mengatakan
: ‘Para hakim secara ijma mengatakan tentang riba dalam buyu’ (perdagangan)
dalam dua jenis yaitu penundaan (nasi’ah) dan kelebihan yang ditentukan
(tafadul)
Jadi,
ada dua jenis riba:
1. Riba al-fadl adalah Penambahan dalam utang-piutang
Dapat dijelaskan sebagai berikut, transaksi sewa-menyewa melibatkan kedua unsur, baik penundaan maupun penambahan nilai hanya dapat dilakukan atas benda-benda tertentu saja seperti bangunan, kendaraan, binatang, dan sejenisnya; dan tidak atas benda-benda lain yang habis terpakai dan tidak bisa dimanfaatkan bagian per bagiannya – seperti makanan dan benda yang dipakai sebagai alat tukar, yakni uang. Sewa-menyewa uang berarti merusak fitrah transaksi, dan menjadikannya sebagai riba. Dalam hal ini riba yang terjadi adalah riba al-fadl, karena menyewakan uang serupa dengan menambahkan nilai pada utang-piutang.
1. Riba al-fadl adalah Penambahan dalam utang-piutang
Dapat dijelaskan sebagai berikut, transaksi sewa-menyewa melibatkan kedua unsur, baik penundaan maupun penambahan nilai hanya dapat dilakukan atas benda-benda tertentu saja seperti bangunan, kendaraan, binatang, dan sejenisnya; dan tidak atas benda-benda lain yang habis terpakai dan tidak bisa dimanfaatkan bagian per bagiannya – seperti makanan dan benda yang dipakai sebagai alat tukar, yakni uang. Sewa-menyewa uang berarti merusak fitrah transaksi, dan menjadikannya sebagai riba. Dalam hal ini riba yang terjadi adalah riba al-fadl, karena menyewakan uang serupa dengan menambahkan nilai pada utang-piutang.
Transaksi
utang-piutang mengandung penundaan (selisih) waktu, tapi tidak ada unsur
penambahan. Seseorang meminjamkan anda uang Rp 500.000, dan peminjam
melunasinya, setelah tertunda beberapa waktu lamanya, dalam jumlah yang sama,
IDR 500.000. Penundaan waktu dalam utang-piutang ini dibenarkan dan hukumnya
halal, tetapi penambahan atasnya tidak dibenarkan dan hukumnya haram.
Penambahan dalam utang-piutang adalah riba al-fadl.
Riba al-fadl mengacu pada jumlah (kuantitas). Riba an-nasiah
mengacu pada penundaan waktu. Riba al-fadl sangat mudah untuk dipahami. Dalam peminjaman,
riba al-fadl merupakan bunga yang harus dibayar. Namun pada umumnya riba ini
mewakili peningkatan tambahan terhadap nilai tanding yang diminta oleh satu
pihak.
2.
Riba an-nasiah adalah kelebihan karena penundaan
Memahami riba an-nasiah lebih pelik. Riba ini merupakan kelebihan dalam waktu (penundaan) yang secara artifisial ditambahkan pada transaksi yang berlangsung. Penundaan ini tidak dibolehkan. Hal ini mengacu pada benda nyata (‘ayn) dan benda tidak nyata (dayn), medium pembayaran (emas, perak dan bahan makanan – yang digunakan sebagai uang).
Memahami riba an-nasiah lebih pelik. Riba ini merupakan kelebihan dalam waktu (penundaan) yang secara artifisial ditambahkan pada transaksi yang berlangsung. Penundaan ini tidak dibolehkan. Hal ini mengacu pada benda nyata (‘ayn) dan benda tidak nyata (dayn), medium pembayaran (emas, perak dan bahan makanan – yang digunakan sebagai uang).
‘Ayn
(nyata) merupakan barang dagangan yang nyata, sering disebut sebagai tunai.
Dayn (tidak nyata) merupakan janji untuk membayar atau hutang, atau apa saja
yang pembayarannya atau pelunasannya ditunda. Menukar (safar) dayn untuk ‘ayn
dari jenis yang sama disebut riba an-nasiah. Menukar dayn untuk dayn juga
haram. Dalam penukaran, yang boleh dipertukarkan hanya ‘ayn dengan ‘ayn.
Riba
an-nasiah secara khusus mengacu pada penggunaan dayn dalam pertukaran (safar)
jenis benda yang serupa. Tetapi pengharaman ini diperluas sampai perdagangan
umum jika dayn (sesuatu yang yang tidak nyata) mewakili uang yang melampaui
fungsi sebenarnya dan menggantikan ‘ayn (sesuatu yang nyata) sebagai alat
pembayaran umum. Memahami riba an-nasiah amat sangat penting agar mampu
mengerti kedudukan kita berkenaan dengan uang kertas. Alasan mengapa kaum
ulama modernis mengambil pandangan yang menyimpang tentang riba pada akhirnya
adalah secara senagaja dan tidak adalah untuk mensahkan sistem perbankan (uang
kertas dan bunga) yang sebetulnya tidak bisa diterima. Kegagalan ulama
modern dalam memahami teknik kapitalis ini mengakibatkan pembenaran dikemudian
hari yang menjelma menjadi perbankan Islam atau perbankan syariah. Prinsip
darurat digabung dengan penghapusan riba an-nasiah telah memungkinkan mereka
membenarkan penggunaan uang kertas dan pada gilirannya membenarkan perbankan
dengan cadangan uang (fractional reserve banking) yang merupakan basis sistem
perbankan hari ini yang dimampankan dalam sistem demokrasi.
Dari
ini sini jelas terlihat posisi uang kertas posisi uang kertas dalam
muamalah Islam. Dalam islam semua transaksi jual beli harus memenuhi tiga
syarat:
1.
Sukarela atau disebut antaroddin minkum,
2. Setara atau disebut mithlan bi mithlin, dan
3. Kontan atau disebut yaddan bi yaddin.
2. Setara atau disebut mithlan bi mithlin, dan
3. Kontan atau disebut yaddan bi yaddin.
Uang
kertas, namanya dolar, euro atau pounsterling atau apa saja, tidak dapat
memenuhi ketiga syarat tersebut. uang kertas tidak sukarela, tidak setara, dan
tidak kontan. jadi, mau buat beli telor, beras, kambing atau buat membayar apa
pun, uang kertas tidak bisa digunakan, batil, haram hukumnya.
Uang
kertas tidak dapat memenuhi ketiga syarat jual-beli tersebut, karena di
dalamnya mengandung dua jenis riba sekaligus yaitu:
1.Riba
al Fadl (karena ketidaksetaraannya itu), dan
2.Riba an Nasiah (karena penundaan pembayarannya) tersebut. Jadi jelas, uang kertas itu, haramnya berlipat dua. Hari ini uang kertas dan sistem perbankan riba dimasukan ketengah kaum muslim Indonesia yang di integrasikan (dimapankan) lewat kuda trojan bernama demokrasi.
2.Riba an Nasiah (karena penundaan pembayarannya) tersebut. Jadi jelas, uang kertas itu, haramnya berlipat dua. Hari ini uang kertas dan sistem perbankan riba dimasukan ketengah kaum muslim Indonesia yang di integrasikan (dimapankan) lewat kuda trojan bernama demokrasi.
Dengan
melihat hal tersebut di atas, seharusnya tak hanya bank yang dianggap sebagai
biang kerok riba tapi kita pun bisa dipersalahkan jika menerimanya riba yang
bukanlah sesuatu yang jauh disana yang seolah asing bagi kita. Untuk
menyelesaikan urusan jaman riba ini, sadarilah bahwa riba sebagai bagian cara
berniaga kita sehari-hari. Kita dibuat begitu tergantung pada amalan riba ini
dan jalan keluarnya adalah ubahlah cara berniaga kita sehari-hari hingga tak
lagi bergantung pada riba. Inilah kewajiban kita bersama dalam mentaati Allah
dan rasulNya.
Pertama-tama kita diperintahkan untuk meninggalkan riba, setelah
itu anda boleh berjihad fisabilillah. Nabi secara jelas menyebutkan kedua pihak
yang terlibat dalam transaksi ribawi sebagai periba. “‘Abdullah bin Mas’ud
radiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa sallam
melaknat yang memungut maupun yang membayar riba. Saya bertanya bagaimana
dengan yang mencatat transaksi dan dua saksinya. Maka beliau (periwayat hadis)
menjawab, ‘Kami sampaikan yang kami dengar.’” (Al-Muslim, Bab DCXXVII)
“Jabir berkata bahwa Rasulullah sallallahu‘alayhi wa sallam
melaknat pemungut maupun pembayar bunga, pencatat transaksi, dan dua saksinya,
kemudian beliau bersabda, ‘Mereka semua sama saja.’” (Al-Muslim, Bab DCXXVII, 3881)
Beberapa
orang yang katanya ‘pintar’ atau orang-orang yang sudah apatis menyangka bahwa
kita tidak mungkin meninggalkan uang-kertas dan perbankan. Padahal,
meninggalkan riba bukanlah perkara yang mustahil, melainkan inilah yang
termudah. Dimulai dengan kembali kepada dinar dan dirham. Sebab Allah subhanahu
wa ta`ala tidak membebankan kewajiban pada setiap manusia di luar kemampuannya.
Allah subhanahu wa ta`ala memberikan jalan keluar yang harus dikerjakan oleh
muslim hari ini di Nusantara yakni meninggalkan riba dan memerangi para lintah
darat (periba).
Meninggalkan
riba berarti menciptakan (mengembalikan) cara berniaga (jual-beli) yang halal
diantara kita, dimulai dengan di gunakannya kembali Dinar-Dirham. Dan memerangi
periba (harb) adalah dengan mengamalkan kembali segala cara hidup yang sesuai
dengan tuntunan syari’ah yang secara otomatis akan menghancurkan sarana ribawi
mereka. Keduanya hal ini harus dikerjakan secara bersamaan, karena kurang bijak
jika kita menyeru dan mengajak muslim dan umum untuk meninggalkan sistem ribawi
bila di saat yang sama tiada pilihan lain yang ditawarkan, dan alhamdulillah
dalam hal ini di Indonesia telah beredar dinar dirham yang telah dicetak oleh
muslim indonesia melalui Pelopor Pencetakan dinardirham Mandiri dari Islamic
Mint Nusantara (2000), Mobile dinar
dirham yang disebut Dinarfirst dan Titipan Dinarfirst, Jaringan Perdagangan Muslim dan Pasar
Terbuka dalam Saudara (Saudagara Nusantara). Inilah tugas kita bersama yang ada di
hadapan Muslimin hari ini. Ketaatan kepada Allah dan rasulNya adalah kunci
kemenangan.
Dengan
kita telah memahami pengertian riba di atas yang telah dijelaskan oleh Ibn Rusd
yang mengacu kepada empat Ulama Madhab, maka kita melihat Islam hari ini jadi
jelas apa posisi pembaharu islam yang berusaha mengislamkan kapitalis yaitu
sistem riba dan uang kertas, maka menciptakan Bank Islam atau bank Syariah,
para pembaharu ini dengan sengaja atau tidak telah mengabaikan aspek pengertian
riba dan uang kertas dengan meredefinisi pengertian riba dengan tujuan untuk
memasukan sistem ekonomi modern atau kapitalisme yang sepenuhnya berdasarkan
riba melalui demokrasi kedalam kehidupan muslim hari ini. Mari kita tinggalkan
riba dan uang kertas, Mari kita gunakan dinar dan dirham, tunggu apalagi.
Bismillah.
Jalan keluar dari sistem
riba (perbankan dan uang kertas) adalah dengan kembali mengamalkan kehidupan
tanpa riba yaitu perdagangan yang halal tanpa riba dalam pasar-pasar terbuka
islam dengan transaksi tanpa riba, lalu bagaimana memulainya? yaitu dengan:
1.Segera memiliki dan menggunakan dinar dinar dirham Islam sekarang juga yang bisa di dapatkan melalui www.dinarfirst.org atau kontak 081808872081 atau 02175900412.
2. Bergabung dengan SAUDARA (Saudagar Nusantara) jika anda pedagang, produsen atau jasa silahkan mendaftar di www.dinarfirst.org
3. Mulai membayarkan Zakat mal dengan dinar dirham Islam yang dapat ditarik dan disalurkan melalui Baitul Mal Nabawi, kontak 081808872081
1.Segera memiliki dan menggunakan dinar dinar dirham Islam sekarang juga yang bisa di dapatkan melalui www.dinarfirst.org atau kontak 081808872081 atau 02175900412.
2. Bergabung dengan SAUDARA (Saudagar Nusantara) jika anda pedagang, produsen atau jasa silahkan mendaftar di www.dinarfirst.org
3. Mulai membayarkan Zakat mal dengan dinar dirham Islam yang dapat ditarik dan disalurkan melalui Baitul Mal Nabawi, kontak 081808872081
KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 1 Tahun 2004
Tentang
BUNGA (INTERSAT/FA’IDAH)
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 1 Tahun 2004
Tentang
BUNGA (INTERSAT/FA’IDAH)
Majelias Ulama
Indonesia,
MENIMBANG :
MENIMBANG :
- bahwa umat
Islam Indonesia masih mempertanyakan status hukum bunga (interst/fa’idah)
yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang piutang
(al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan,individu maupun
lainnya;
- bahwa
Ijtima’Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia pada tanggal 22 Syawal 1424 H./16
Desember 2003 telah menfatwakan tentang status hukum bunga;
- bahwa
karena itu, Majelis Ulama Indonesia memnadang perlu menetapkan fatwa
tentang bunga dimaksud untuk di jadikan pedoman.
MENGINGAT :
- Firman
Allah SWT, antara lain :
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,lalu terus berhenti (darimengambil riba), maka baginya maka yang telah diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tiadak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran,dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman,mengerjakan amal shaleh,mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.Dan jika (orang-orang berhutang itu) dalam kesukaran,mereka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (Ali’Immran [3]: 130). - Hadis-hadis
Nabi s.a.w., antara lain :
Dari Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) dan memberikan riba.” Rawi berkata: saya bertanya:”(apakah Rasulullah melaknat juga) orang yang menuliskan dan dua orang yang menajdi saksinya?” Ia (Abdullah) menjawab : “Kami hannya menceritakan apa yang kami dengar.” (HR.Muslim).
Dari Jabir r.a.,ia berkata : “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikn, menuliskan, dan dua orang yang menyaksikan.” Ia berkata: “mereka berstatus hukum sama.” (HR. Muslim).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Akan dating kepada umat manusia suatu masa dimana mereka (terbiasa) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambilnya)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR.al-Nasa’I).
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Riba adalah tujuh puluh dosa; dosanya yang paling ringan adalah (sama dengan) dosa orang yang berzina dengan ibunya.” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Riba mempunyai tujuh puluh tiga pintu (cara,macam).” (HR. Ibn Majah).
Dari Abdullah bin Mas’ud: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang memakan (mengambil) riba, memberikan, dua orang yang menyaksikannya.” (HR. Ibn Majah)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sungguh akan datang kepada umat manusia suatu masa dimana tak ada seorang pun diantara mereka kecuali (terbias) memakan riba. Barang siapa tidak memakan (mengambil)-nya,ia akan terkena debunya.”(HR. Ibn Majah). - Ijma’
ulama tentang keharaman riba dan bahwa riba adalah salah satu dosa besar
(kaba’ir) (lihat antara lain: al-Nawawi, al-Majmu’Syarch al-Muhadzdzab,
[t.t.: Dar al-Fikr,t.th.],juz 9,h 391)
MEMPERHATIKAN :
- Pendapat
para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman
(utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang
di haramkan Allah SWT., seperti dikemukakan,antara lain,oleh :
Al-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabat-sahabat kami (ulama mazhab Syafi’I) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur’an, atas dua pandangan.Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al Qur’an, baik riba naqad maupun riba nasi’ah.
Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur’an sesungguhnya hanya mencakup riba nasa’yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihang berhutang tidak membayarnya,ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah : “… janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda… “ kemudian Sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur’an. - Ibn
al-‘Araby dalam Ahkam al-Qur’an :
- Al-Aini
dalam ‘Umdah al-Qary :
- Al-Sarakhsyi
dalam Al-Mabsuth :
- Ar-Raghib
al-Isfani dalam Al-Mufradat Fi Gharib al-Qur;an :
- Muhammad
Ali al-Shabuni dalam Rawa-I’ al-Bayan :
- Muhammad
Abu Zahrah dalam Buhuts fi al-Riba :
- Yusuf
al-Qardhawy dalam fawa’id al-Bunuk :
- Wahbah
al-Zuhaily dalam Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh :
- Bunga uang
atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang di
haramkan Allah SWT dalam Al-Quran,karena dalam riba tambahan hanya
dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam system bunga tambhan
sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi.
- Ketetapan
akan keharaman bunga Bank oleh berbagai forum Ulama Internasional, antara
lain:
- Majma’ul
Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965
- Majma’
al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl
10-16 Rabi’ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985.
- Majma’
Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang
diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H.
- Keputusan
Dar Al-Itfa, kerajaan Saudi Arabia,1979
- Keputusan
Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999.
- Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000
yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan Syari’ah.
- Keputusan
Sidang Lajnah Tarjih Muhammdiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan
kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system
perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
- Keputusan
Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan
berdirinya Bank Islam dengan system tanpa Bunga.
- Keputusan
Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga
(interest/fa’idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
- Keputusasn
Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa’idah 1424/03 Januari 2004;28
Dzulqa’idah 1424/17 Januari 2004;dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.
Dengan memohon ridha Allah SWT
MEMUTUSKAN
MEMUTUSKAN
MEMUTUSKAN : FATWA TENTANG BUNGA (INTERST/FA`IDAH):
Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
Pertama : Pengertian Bunga (Interest) dan Riba
1.
Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan
dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok
pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan
tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka,dan pada umumnya berdasarkan
persentase.
2.
Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi
karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah
yang disebut Riba Nasi’ah.
Kedua : Hukum Bunga (interest)
3.
Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria
riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan
demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba
Haram Hukumnya.
4.
Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di
lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga
Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
Ketiga : Bermu’amallah dengan lembaga keuangan
konvensional
5.
Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga
keuangan Syari’ah dan mudah di jangkau,tidak di bolehkan melakukan transaksi
yang di dasarkan kepada perhitungan bunga.
6.
Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga
keuangan Syari’ah,diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga
keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.
Jakarta, 05 Djulhijah 1424H
24 Januari 2004 M
24 Januari 2004 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA,
KOMISI FATWA
KOMISI FATWA
Ketua Sekretaris
K.H. Ma’ruf Amin Drs. Hasanudin ,M.Ag.